Delegasi Wewenang Setralisasi VS Desentralisasi
Delegasi Wewenang Sentralisasi VS Desentralisasi
Pendelegasian wewenang merupakan
sesuatu yang vital dalam organisasi kantor. Atasan perlu melakukan
pendelegasian wewenang agar mereka bisa menjalankan operasi manajemen dengan
baik. Selain itu, pendelegasian wewenang adalah konsekuensi logis dari semakin
besarnya organisasi. Bila seorang atasan tidak mau mendelegasikan wewenang,
maka sesungguhnya organisasi itu tidak butuh siapa-siapa selain dia
sendiri.Bila atasan menghadapi banyak pekerjaan yang tak dapat dilaksanakan
oleh satu orang, maka ia perlu melakukan delegasi. Pendelegasian juga dilakukan
agar manajer dapat mengembangkan bawahan sehingga lebih memperkuat organisasi,
terutama di saat terjadi perubahan susunan manajemen.
Yang penting disadari
adalah di saat kita mendelegasikan wewenang kita memberikan otoritas pada orang
lain, namun kita sebenarnya tidak kehilangan otoritas orisinilnya. Ini yang
sering dikhawatirkan oleh banyak orang. Mereka takut bila mereka melakukan
delegasi, mereka kehilangan wewenang, padahal tidak, karena tanggung jawab tetap
berada pada sang atasan. Berikut ada tips bagaimana mengusahakan agar para
atasan mau mendelegasikan wewenang.
Pendelegasian
Pendelegasian (pelimpahan
wewenang) merupakan salah satu elemen penting dalam fungsi pembinaan. Sebagai
manajer perawat dan bidan menerima prinsip-prinsip delegasi agar menjadi lebih
produktif dalam melakukan fungsi-fungsi manajemen lainnya. Delegasi wewenang
adalah proses dimana manajer mengalokasikan wewenang kepada bawahannya.
Ada empat kegiatan dalam delegasi wewenang:
- Manager perawat/bidan menetapkan dan memberikan tugas dan tujuannya kepada orang yang diberi pelimpahan;
- Manajer melimpahkan wewenang yang diperlukan untuk mencapai tujuan;
- Perawat/bidan yang menerima delegasi baik eksplisit maupun implisit menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab.
- Manajer perawat/bidan menerima pertanggungjawaban (akontabilitas) atas hasil yang telah dicapai.
Alasan pendelegasian :
Ada beberapa alasan mengapa pendelegasian diperlukan.
- Pendelegasian memungkinkan manajer perawat/bidan mencapai hasil yang lebih baik dari pada semua kegiatan ditangani sendiri.
- Agar organisasi berjalan lebih efisien.
- Pendelegasian memungkinkan manajer perawat/bidan dapat memusatkan perhatian terhadap tugas-tugas prioritas yang lebih penting.
- Dengan pendelegasian, memungkinkan bawahan untuk tumbuh dan berkembang, bahkan dapat dipergunakan sebagai bahan informasi untuk belajar dari kesalahan atau keberhasilan.
Manajer perawat/bidan seharusnya lebih cermat dalam
mendelegasikan tugas dan wewenangnya, mengingat kegiatan perawat dan bidan
berhubungan dengan keselamatan orang lain (pasen). Oleh karena itu
sebelum mendelegasikan tugas/wewenang hendaknya dipahami benar tingkat
kemampuan dari perawat/bidan yang akan diberikan delegasi.
a. Sentralisasi
Sentralisasi
adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang
berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak
digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi
daerah.Kelemahan dari sistem sentralisasi adalah di mana seluruh keputusan dan
kebijakan di daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah
pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk memutuskan sesuatu menjadi lama. Kelebihan
sistem ini adalah di mana pemerintah pusat tidak harus pusing-pusing pada
permasalahan yang timbul akibat perbedaan pengambilan keputusan, karena seluluh
keputusan dan kebijakan dikoordinir seluruhnya oleh pemerintah pusat.
b. Desentralisasi
Desentralisasi
adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada
manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur
organisasi. Pada saat sekarang ini banyak perusahaan atau organisasi yang memilih
serta menerapkan sistem desentralisasi karena dapat memperbaiki serta
meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu organisasi.Pada sistem
pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi,
melainkan sistem otonomi daerah atau otda yang memberikan sebagian wewenang
yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di
tingkat pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian
besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah
tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat.Namun kekurangan dari
sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah euforia yang
berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan
dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal
tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
DESENTRALISASI Vs SENTRALISASI
HUBUNGAN KEKUASAAN PUSAT –
DAERAH Sentralisasi versus Desentralisasi
Berdasarkan pemikiran di atas, maka kedepan Indonesia
harus melakukan relokasi kekuasaan dari negara ke unit-unit pemerintahan yang
lebih kecil, karena itu sudah merupakan kehendak jaman. Model sentralistis yang
selama diprektekkan oleh pemerintah tidak dapat lagi dipertahankan.
Alasan-alasannya antara lain: Kelemahan utama konsep sentralistis adalah karena
sangat kaku (rigit) sehingga sulit berartikulasi secara optimal terhadap
dinamika lingkungan. Konsep sentralisasi sulit mengelola berbagai sumberdaya
lokal yang sangat beragan dan bervariasi, karena konsep ini tidak memiliki
instrumen yang peka terhadap kemajemukan (diversity). Pendekatan pemerintahan
dilakukan dengana asumsi homogenitas wilayah, sehingga akan menimbulkan
kesenjangan dalam berbagai bidang atau aspek (antar wilayah, antar lapisan dan
natar golongan masyarakat).
Kebijaksanaan sentralistis secara
langsung maupun tidaklangsung telah membatasi kreativitas sumberdaya
pembangunn. Masalah yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menemukan dan
merumuskan format yang tepat atau optimaldari relokasi kewenangan tersebut.
Pada satu sisi, sentralisasi mampu menawarkan efisiensi dalam penyelenggaraan
pemerintahanm. Tetapi pada sisi yang lain relokasi kewenangan yang dijabarkan
dalam bentukkewenangan politik dan administrasi di samping akan menjawab
berbgai kelemahan model sentralistik, juga memiliki kelemahan yang
intensitasnya sangat tergantung kepada kemampuan penegelolaan kemajemukan yang
ada. Konsep atau model yang keliru jelas tidak mampu menghasilkan sinergi dari
berbagai komponen wilayah dan bangsa, tetapi justru akan mendorong timbulnya
perpecahan atau disintegrasi bangsa. Ketidakmampuan merumuskan model relokasi
kewenangan dimaksud mungkin merupakan jawaban mengapa sejak diundangkannya UU
No.5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah, tidak pernah diikuti oleh
penyusunan PP atau Peraturan Pememerintah yang mengatur berbagai pasal dalam UU
tersebut. Model dan Proses Desentralisasi. Relokasi kewenangan yang diwujudkan
dalam bentuk pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah
(relokasi/desentralisasi kewenangan politik dan kewenangan administrasi)
merupakan wujud sistem manajemen pemerintahan yang sangat kondusif terhadap
pengembangan dan peningkatan kualitas Kemandirian Lokal.
Model otonomi yang diamanahkan dalam UU
No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang meletakkan otonomi pada Daerah
Tingkat II (Kabupaten dan Kotamadya) merupakan alternatip sesungguhnya adalah
alternatip yang terbaik dibandingkan dengan berbagai model otonomi yang
lainnya, mengingat model ini lebih mendekatkan birokrasi pemerintahan dengan
masyarakatnya, dan yang disebut sebagai masyarakat lokal hanya ada di desa dan
kabupaten. Model otonomi pada Tingkat II akan memudahkan proses penyaluran
aspirasi masyarakat secara lebih luas dan cepat dan dengan demikian
pemberdayaan dengan jalan partisipasi dapat dengan mudah dilakukan yang pada
gilirannya proses demokratisasi sebagaimana hrapan reformasi dapat diwujudkan.
Namun persoalannya sekarang, masih banyak daerah, terutama para perangkat
pemerintahan belum sepenuhnya memahami konsep dasar otonomi tersebut. Mereka
lebih menekankannya pada sasaran penguasaan dan pemilikan aset dan sumberdaya,
sehingga dengan mudah menimbulkan pertentangan antar wilayah atau antardaerah.
Maka dalam kaitan ini otonomi daerah masih sangat membutuhkan peranan Tingkat I
sebagai kordinator, pengawas, dan pengarah kegiatan pelaksanaan otonomi
tersebut .Kelemahan sekaligus kekuatan UU No.22/99 terletak pada banyak
Peraturan Pemerintah yang perlu disusun dalam upaya implementasi amanah UU
tersebut. Kualitas semangat reformasi dari penyelenggara negara akan menentukan
apakah hal tersebut akan menjadi kekuatan atau kelemahan, karena penjabaran
dari berbagai pasal kedalam Peraturan Pemerintah akanmenentukan format
sebenarnya dari model otonomi tersebut.
Dalam merumuskan beberapa Peraturan
Pemerintah agar format otonomi daerah menjadi lebih relevan maka, bebrapa hal
perlu mendapat pertimbangan, yakni: Kualitas Teknostruktur DaerahPengalaman
pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang dimiliki oleh sebahagian besar
aparat pemerintah di daerah dapat dikatakan sangat minim dan kemungkinan besar
tidak mampu melaksanakan otonomi dalam arti yang sebenarnya. Model Petunjuk
Pelaksanaan yang dipraktekkan selama Orde Baru telah menjadi budaya sehingga
mematikan prakarsa dan kreativitas masyarakat. Demikian pula halnya dengan
Kelembagaan masyarakat yang selama masa Orde Baru telah dimandulkan secara
sistematis sehingga saat ini tidak ampu lagi melahirkan hasil yang dibutuhkan
bagi peningkatan kemandirian wilayah atau daerah.
Di samping itu kemampuan menemukan cara pengelolaan
sumberdaya lokal relatif sangat rendah, sehingga akan menghambat pelaksanaan
otonomi apabila tidak memiliki sumberdaya yang memadai. Berdasarkan hasisl
kesilapan daerah yang disebutkan di atas, dikhawatirkan timbulnya usul
pelaksanaan otonomi daerah menjadi tertunda. Perlu dikemukakan bahwa terdapat
kecurigaan di klangan masyarakat bahwa otonomi daerah sebagimana yang tercantum
dalam UU No. 22/1999 hanyalah merupakan upaya Pemerintah Nasional untuk
mengulur waktu, karena memang tidak sepenuhnya berniat untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah.Hal ini juga dipandang sebagai upaya untuk mempertahankan status
quo pola pemerintahan sentralistik yang menghambat terciptanya iklim demokrasi
serta upaya untuk menghambat transparansi penyelenggaraan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Bilamana akumulasi masalah tersebut tidak diantisipasi sedini
mungkin dalam model Otonomi Daerah, maka akan bermuara pada konflik politik
yang berkempanjangan karena dianggap tidak sejalan dengan reformasi.
Mengacu pada hal-hal yang dikemukakan di
atas, dan dengan mempertimbangkan bahwa penyusunan UU No. 22/1999 telah
mengorbankan sumberdaya yang cukup besar, maka substansi undang-undang tersebut
tetap dipertahankan, namun perlu melakukan beberapa penyesuaian di mana istilah
daerah yang ada dalam undang-undang tersebut diganti dari kabupaten atau
Kotamadya menjadi Propinsi. Dengan kata lain, titik berat pelaksanaan otonomi
daerah diletakkan pada daerah tingkat I atau provinsi. Apabila pada saatnya
suatu kabupaten atau gabungan beberapa kabupaten tersebut dapat saja
ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom baru yang terlepas sama sekali
dengan bekas Provinsi induknya. Jika disimak akan terlihatbahwa implementasi
model ini akan bermuara pada terbentuknya beberapa puluh daerah otonom, sesuai
dengan yang dimaksud dalam UU No.22/99, walaupun dengan menempuh proses yang
berbeda. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa model implementasi ini lebih
realistic, khususnya bila dilihat dari sisi kemampuan kebanyakana provinsi
untuk berotonomi. Implementasi model ini setidaknya akan menghapus kecurigaan
terhadap kemungkinan adanya keengganan Pemerintah Nasional untuk
nmenyelenggarakan otonomi.
Di samping itu, peross pembentukan daerah
otonom baru akan dapat berjalan dengan baik karena adanya Pemerintah Pusat yang
memiliki kewenangan dan kemampuan ntuk mengarahkan provinsi
untukmelaksanakanpemekaran yang dimaksud.Disadri adanya kehawatiran bahwa
potensi disintegrasi bangsa akan semakin menguat pada masa otonomi Propinsi
diterapkan, Hal ini sebenarnya tidak beralasan mengingat berbagai pertimbangan,
misalnya: Secara empiris prima causa disinetgarsi suatubangsa tidak terkait
langsung dengan sistem pemerintahan yang dianut, tetapi lebih terkait dengan
ketidakadilan. Bubarnya Uni Sovyet, perang yang berkepanjangan di negara-negara
Balkan, dan pemisahan diri Bangladesh dari P akistan merupakan bukti dari hal
tersebut.Pola karakter kehidupan politik nasional tidak banyak lagi diwarnai
oleh politik aliran sebagaimana yang terjadi pada tahun 1950-an, tetapi oleh
kepentingan riil, terutama ke konomi.Sentimen ideolog, baik pada tingkat
nasional maupun global, tidak lagi mewarnai percaturan politik global. Bahkan
terjadi kecenderungan sebaliknya, yaitu integrasi ekonomi regional seperti di
Eropa dan Amerika Latin, Afrika, dan berbagai belahan dunia lainnya yang
bermuara pada sinergi kekuatan ekonomi regional atas dasar daya
saing.Perekembangan manajemen kenegaraan moderen yang lebih mengarah kepada
pendekatan kesejahteraan masyarakat luas dan post-modernism.
Sumber :
http://dickyweblog.blogspot.co.id/2016/12/delegasi-wewenang-sentralisasi-vs.html
Komentar
Posting Komentar